RSS

Cerpen Penuh Hikmah

"Sakit itu Nikmat"


Ku pandang keluar jendela kamar ku yang entah kenapa ku merasa rindu untuk berkebun, merawat semua bunga bunga ku, menyirami dan menata bunga bunga itu agar lebih indah. Namun apa daya beberapa hari ini ku tak bisa melakukan aktivitas sebagaimana mestinya. Aku merasa sakit sekali pada bagian perut ku dan sudah hampir dua bulan ini aku sudah empat kali datang bulan dan kurasakan sakit yang amat sangat mendalam hingga ku tak mampu untuk berdiri lagi. Aku adalah seorang ibu dengan dua anak, putri pertama ku saat ini sedang menuntut ilmu di pesantren di mana suami ku dulu sempat menuntut ilmu di sana, ia saat ini masih duduk di kelas tiga SMA. Dan putra ke dua ku saat ini masih duduk di bangku kelas satu dasar. Suami ku adalah seorang dosen di salah satu PTN ternama di kota ini. Dan aku adalah seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya bertugas mengurus rumah, aktif dalam pengajian dan masih banyak kegiatan sosial yang ku lakukan bersama teman teman pengajian ku. Sudah terhitung dua minggu aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur ku. Dan saat ini rasa sakit itu kian menjadi jadi. Tak seperti biasanya, darah yang ku keluarkan bukan lagi darah yang semestinya dan sakitnya "masya allah", benar benar menyiksa ku. Abi, begitu ku memanggil suami ku masih belum tahu kondisi ku ini. Karena dia ada kerja di luar kota untuk menjadi pembicara di seminar seminar. Sungguh ku merasa tak dianggap kala ku harus sendiri menikmati sakit ini. Namun air mata kesedihan itu tak ku curahkan sia sia. Ku selalu mencurahkannya pada Pemilih Jiwa dan Hati ini, dalam sunyi ku tertatih untuk bersuci. Dengan duduk ku mantabkan hati untuk mengadu pada Rabb ku. Hati wanita mana yang tak menangis jika disaat ia butuh perhatian dari sang suami, tetapi di tinggal sendiri. Aku memang sudah terbiasa ditinggal sendiri oleh abi selama beberapa hari, namun saat ini beda. "Aku sedang sakit abi. Kenapa abi tak ada rasa simpati sedikitpun mendengar kabar aku sakit, kenapa abi tak lekas pulang, kenapa abi masih mementingkan seminar seminar itu?" Ku berbicara dalam hati kala ku merasa kesakitan yang amat sangat mendalam.

Keesokan harinya suami ku pulang, namun ku tak sanggup untuk menyambut sebagimana biasanya. Bukan ku marah padanya, tapi rasa sakit ini kian menjadi. Ku hanya mampu tersenyum saat ia berada di depan pintu kamar. "Asalamualaikum umi...." katanya memberi salam dengan di iringi senyuman yang masih sama seperti dulu, senyuman yang meluluhkan hati ku. "Waalaikum salam abi..." jawab ku mulai mencoba untuk berdiri, tapi rasa sakit ini tak mampu ku sembunyikan lagi hingga akhirnya aku terjatuh dari tempat tidur. Buru buru abi berlari ke arah ku dan membawa ku naik kembali. "Astagfirlah umi...jadi umi benar benar sakit? maafin abi ya mi, abi benar benar minta maaf. abi kira umi cuma sakit biasa."  kata suami ku dengan memegang tangan ku erat seraya meminta maaf. Emmm... damai sekali kurasakan sentuhan suami ku. Ini yang aku butuhkan selama beberapa hari ini, "perhatiannya". "Ya udah sekarang kita ke rumah sakit ya?" kata abi masih erat memegang tangan ku. "Nanti saja ke rumah sakit nya, abi kan baru sampai, abi masih lelah. Aku ingin lebih lama seperti ini bersama abi. Sungguh ku rasakan kehangatan kasih abi." kataku berusaha untuk tersenyum. "Abi gak capek mi, sekarang yang paling penting itu umi sembuh. Tuh lihat, wajah umi pucat sekali. Tunggu sebentar ya, biar abi suruh mang salim menyiapkan mobil." kata abi sambil melepaskan pegangannya dan berlari memanggil mang salim supir kami. Setelah mobil siap abi langsung kembali ke kamar. "Ayo biar abi bantu berjalan." katanya saat ku berusaha untuk duduk. Tapi rasa sakit itu kian parah saja ku rasa. "eessttt.....aduh.....sakit abi....." seru ku tak sanggup lagi untuk berdiri. "ya udah, sabar ya! ini ujian buat umi. Abi gendong ya?" katanya menyemangati ku dengan senyuman indah itu. Aku jadi ingat saat dua puluh tahun silam saat kita baru menikah dan abi membawa ku kerumah ini, setelah turun dari mobil abi langsung menggendong ku dari halaman depan, memasuki ruang tamu, ruang tengah, menaiki tangga dan hingga masuk ke kamar. Oh sungguh romantis sekali masa itu. Dan saat ini, hal itu kembali abi lakukan, menggendong ku dari kamar hingga halaman depan. Entah kenapa ku merasa sedih sekali. Air mata ku tak kuasa ku bendung. "Kamu kenapa mi? tambah sakit? sabar ya, sebentar lagi kita sampai rumah sakit." kata abi menenangkan ku saat ia melihat ku menangis di gendongannya. Ku lingkarkan tangan ku erat di lehernya. Entah kenapa ku ingin selalu seperti ini. Ku rasakan dekat sekali raga dan jiwa ini dengannya. "umi gak apa apa kok bi, umi hanya merasa takut saja?" kata ku padanya saat kami melewati ruang tengah. "Takut kenapa? kan ada abi di sini?" "entahlah, tapi yang pasti umi takut sekali." kata ku tak kuasa membendung air mata ku dan lebih erat melingkarkan tanganku di lehernya. Tak ku bayangkan ternyata kami sudah dua puluh tahun hidup berasama dan ini kali kedua abi menggendong ku selama dua puluh tahun ini. "Subhanallah... Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah menjodohkan kami", kata ku dalam hati saat kita telah sampai di rumah sakit.

Terlihat dua perawat mendorong tempat tidur ke arah kami saat abi terlihat akan menggendong ku kembali untuk masuk ke rumah sakit itu. "Terima kasih, tapa maaf biar saya gendong saja istri saya..." kata abi menolak dua perawat itu. Jadilah aku di gendong kembali ke dalam rumah sakit. "Baik, mari ikut kami!" kata perawat yang berkulit agak gelap dengan senyum ramahnya. Mungkin ia berpikir "romantis sekali pasangan ini" :) Ya, romantisme yang lahir kembali setelah hampir dua puluh tahun pudar entah kemana. Melebur bersama aktivitas masing masing yang super duper padat. Ku harap ruang yang di maksud perawat tadi jaraknya lumayan, entah kenapa ku berpikir demikian. Yang jelas ada sebuah rasa di relung hati ini yang ingin sekali selalu dekat seperti ini dengan abi. Sesampainya di ruang periksa, abi membaringkan ku di tempat tidur pasien, tampak seoarang dokter dan seorang suster masuk kemar ku. "Maaf, bapak bisa tunggu sebentar di luar. Kami akan mengecek pasien terlebih dahulu." perintahnya pada suami ku. Abi hanya tersenyum kepadaku dan mengelus kepala ku. "Percayalah, kamu baik baik saja, abi tunggu di luar ya!" katanya pada ku. Dokter itu pun mulai memeriksa ku, mulai bertanya ini dan itu. Hampir lima belas menit acara pemeriksaan itu berlangsung. Dan diperolehnya analisa awalnya. "Maaf, dok saya sakit apa ya?" tanya ku setelah ia selesai memeriksaku. "Maaf ibu, ibu istirahat saja dulu. Kami masih akan melakukan uji laborat. Sebentar lagi kami akan mengambil sedikit sampel pada ibu." kata dokter Devi dengan senyum indahnya (begitu ku baca tanda pengenalnya)."Deegggg......" Entah kenapa detik itu juga perasaan ku tak nyaman. Ada sesuatu yang ku rasa janggal dari perkataan dokter devi tadi.

Dokter Devi pun keluar bersama suster itu. Nampak ia berbicara sesuatu pada suami ku di luar. Tapi ku hanya mendengar sayup sayup perbincangan mereka dan itu bukan yang ku ingin tahu, sekedar basa basi dan suara sayup itu kian menghilang dari pendengaran ku. Nampak mereka menjahui ruangan ku. "Astagfirlahaladim...hamba sakit apa sebenarnya Ya Allah?" kata ku mulai meneteskan air mata. Tak henti ku memanjatkan doa pada Rabb pemilik jiwa. Selang beberapa menit, abi masuk. Tampak ia lesu, namun semua ia tutupi dengan senyuman indah itu. "Umi sakit apa bi, kata doter devi?" tanya tak sabar menunggu jawaban suami ku. "Umi yang sabar ya!" "iya umi akan berusaha ikhlas menerima ini bi. Ayo cepat kasih tahu, umi sakit apa?" tanya ku penasaran. Terlihat wajah abi yang kian lesu, "astagfirllah...ada apa ini?" kata ku dalam hati. "Tapi umi harus jamji sama abi, umi akan lebih kuat dan lebih ikhlas setelah mendengar ini." "Iya abi,,, umi janji" kata ku dengan berusaha tersenyum pada abi. "umi...itu di duga terkena kangker rahim." kata abi dengan susah payah. Sejenak ruangan itu terasa sunyi dan seakan tak berpenghuni. Aku yang mendengar kata "kangker rahim" menjadi lemas dan sejenak roh ku meloncot entah kemana. "Innalillah... " kata ku seraya menangis sejadi jadinya. Abi meluk ku, memberikan dadanya untuk ku tangisi. Ku lepaskan semua ketakutan ku selama ini. Semua yang menyelimuti hati ku, kutumpahkan saat itu juga. "Umi yang kuat ya! Abi yakin umi pasti sembuh." kata abi menenangkan ku.

Detik itu pun aku resmi menjadi pasien Rumah sakit itu. Keesokan harinya, dokter devi menganbil sampel pada kangker ku untuk di uji. Dan hasilnya lebih mengejutkan ku. "Stadium 3". Tindakan operasi pun tak terelakkan untuk di lakukan, meskipun kemungkinan untuk sembuh kecil. Namun abi, dengan setia menemani dan menguatkan ku. "Subhanallah....Terimaksih ya Allah, Engkau telah kirimkan imam yang begitu sempurna untuk melengkapi ketidak sempurnaan hamba ini." kata hati ku saat di tengah malam ku terjaga dan melihat abi dengan kusyuk shalat dan memohonkan kesembuhan untuk ku. "Ya Allah,,,aku rindu berada di bekangnya, mengikutinya untuk menghadap dan bermunajat pada Mu." Hari yang telah ditentukan untuk tindakan operasi itu pun tiba, semua telah siap. Tak henti ku berdoa dan memohon kelancaran. Tak henti juga, abi selalu menyemangati ku. "Percayalah... kamu pasti sembuh. Insya Allah." kata terakhir abi saat aku akan masuk ke ruang operasi. "Cuuup..." kecupan di kening mengakhiri pertemuan kita di depan pintu operasi. Terlihat beberapa dokter di sini, dan semua wanita. Abi yang meminta, dia yang mengajukan untuk memilih dokter wanita untuk mengoperasi ku. Makanya operasinya ditunda beberapa hari. "Anda sudah siap?" tanya dokter devi. "Iya, saya siap" kata ku mantap. Semua bayang bayang abi, Aisya (putri ku), dan Malik (putra ku) berputar dalam pikiran ku. Kenangan kenangan itu seakan memberi suntikan semangat untuk ku. Ku coba untuk tersenyum dan menegarkan diri ini. Ku berdoa dalam hati, "Ya Allah, sungguh hamba ini tak punya kuasa apa pun dalam dunia ini. Semua yang ada di langit dan di bumi ini milik Mu Ya Allah. Berilah hamba satu kekuatan gelombang lautan Mu Ya Allah. Tiada daya dan kuasa kecuali daya dan kuasa Mu."

Dokter devi pun menyuntikkan sesuatu pada tubuh ku. Dan entah kenapa semua menjadi gelap dan ku tak ingat lagi apa yang terjadi. Ku sadar saat di keliling ku bukan dokter dokter itu lagi. Tapi sayup ku dengar suara merdu anisa putri ku membacakan ayat suci alquran untuk ku dan suara abi juga terdengar beriringan. Dan ku mendengar suara lain, subhanallah...suara malik yang lagi bermain sama mbak nanik. "Ya Allah terimakasih Atas semua ini" "Abi... Anisa... Malik..." kata ku mulai berbicara. "Shadakallahul Adzim..." serempak abi dan anisa mengakhiri ngajinya. "Alhamdulillah, umi sudah sadar..." kata abi langsung memelukku. "Alhamdulillah, umi sudah sadar,,,jujur anisa rindu sekali sama umi. Anisa sudah dua hari di sini. Menjaga umi." kata anisa mencium tanganku. "Subahanallah...Maha Besar Engkau Ya Allah,,,atas segala kuasamu ynag telah menyadarkan ku dari koma selama dua hari ini." kata ku dalam hati sambil menangis. "Umi...umi...umi.....adik kangen sama umi...." malik menghampiri ku dan naik ketempat ku. Ku ciumi dia tampa henti. Sudah beberapa minggu ini kami belum bertemu karena ku suruh mbak nanik untuk tak memberi tahu malik kalau aku sedang di rumah sakit. Ternyata selama dua hari ini aku koma. Dan abi menjemput anisa dari pesantren serta membawa malik kesini untuk memberikan doa untuk ku. "Luar biasa anugerah Mu Ya Allah"

Beberapa menit berlalu dalam haru dan syukur atas kesadaran ku dari koma. Dokter devi pun datang memeriksaku kembali. "Selamat ya...kamu memang wanita yang tangguh. Aku salut pada mu. selamat ya." "Maaf sebelumnya, saya belum bisa memberikan banyak komen saat ini. Tapi melihat kondisi kamu yang stabil saat ini, aku yakin kamu akan sembuh. Insya allah" kata doter devi setelah memeriksa kondisi ku. "Amin...." serempak abi dan anisa mengamini doa dokter devi. Aku pun ikut mengamininya dalam hati seraya tersenyum pada semua. Saat ini kurasakan tubuh ku kembali sehat, tak seperti sebelumnya. Ku merasa tak ada yang aneh dalam tubuhku. Rasa sakit itu pun seakan lenyap. Benar benar ku merasa tak ada sesuatu pun yang terjadi pada tubuh ku.

Keesokan harinya dokter melakukan pengecekan terhadap kangker ku. Dan luar biasa, Kangker itu benar benar mati. Hanya butuh kemoterapi untuk benar benar mematikan kangker yang ada di tubuh ku. Takutnya masih ada kangker kangker kecil yang bersarang. Semua saran dokter, disetujui oleh abi sebagi bentuk ikhtiar kepada Allah. Tak henti doa dari keluarga kecil ku mengiri hari ku di rumah sakit ini. Semua teman teman pengajian ku juga tak lupa mendoakan ku. Tak terkecuali semua anak anak ku di panti asuhan yang kami dirikan. Luar  biasa kekuatan doa itu. Doa doa itu adalah infus untuk ku bisa bertahan dan bertahan.

Kemoterapi pertama telah ku lalui. MasyaAllah... sakit yang kurasakan luar biasa. Hingga ku tak sadarkan diri kembali. Dan kesokan harinya setelah kondisiku stabil lagi, dokter kembali mengecek untuk memastikan kangker itu benar benar mati. Dan ternyata masih ada kangker kecil yang belum mati. diharapkan kemoterapi kedua ini mampu mematikan kangker tersebut. Sambil menunggu waktu kemo yang kedua, hujan doa terus datang untuk ku. Subhanallah... Maha Besar Allah yang saat ini telah memberiku nikmat yang luar biasa ini. Ku tetap yakin bahwa aku akan sembuh. Abi, anisa, dan malik selalu menyemangati ku. Tak terasa aku telah memasuki minggu ke empat disini. 

Adzan magrib mulai terdengar, "alhamdulillah sudah magrib" kata abi mengingatkan. "Anisa, sholat disini sama umi. Abi sholat di musholla berjamaah disana." kata abi kepada anisa. Biasannya selama ini memang begitu, abi sholat di musollah RS. Aku dan putri ku sholat di kamar ini. "Abi........" panggil ku saat ia hendak membuka pintu. "Iya ada apa umi?" tanya nya segera menoleh. "umi kangen berjamaah sama abi..." kata ku padanya. "Subhanallah... okey,,, kita jamaah di sini ya?" Aku pun hanya bisa tersenyum dan kami pun mulai sholat berjamaah. Subhanallah...damai terasa dalam hati ini.

"Ya Allah...berilah setetes kesembuhan bagi istri hamba Mu ini. sungguh kami hanya manusia yang dzalim jika harus berpaling dari Mu wahai pemilik kerajaan di langit dan di bumi. Ya Allah, jadikanlah cobaan ini yang lebih mendekatkan kami pada Mu. Sungguh ini nikmat yang luar biasa. Ku lebih merasakan rahman dan rahim Mu yang Agung." sepenggal doa abi saat selesai sholat. Aku dan anisa hanya bisa mengamini dan diiringi tetesan air mata.

Hari kemo kedua pun telah tiba. Kembali ku masuk keruang dimana aku beberapa hari lalu tak sadarkan diri disini. Dan kejadian itupun berlangsung kembali berlangsung dan akupun kembali tak sadarkan diri. Meskipun aku telah berusaha untuk menahan rasa sakit kemoterapi itu tapi apa daya ku,mungkin ini cara Allah yang terbaik untuk ku, menghilangkan kesadaran ku. Beberapa jam kemudian aku pun sadar. Semua tampak berada di sekeliling ku. Abi, anisa, Malik yang digendong mbak nanik. Ku hanya tersenyum menatap wajah wajah itu. Merekapun membalas senyuman ku dengan tak kalah manisnya. Beberapa hari selanjutnya kondisiku kian memburuk. Dokter tak bisa mengecek kondisi kangker ku. Nampak tubuh ku mengalami efek dari kemo. Demam dan mengalami masalah pencernaan. Namun alhamdulillah semua mampu ku lalui dengan iringan doa dan semangat dari semua. Pengecekan itupun dilakukan dan akhirnya dokter benar benar memastikan kalau kangker dalam diri ku telah benar benar mati.Alhamdulillah...segala puji bagi Allah... meski aku harus merelakan rahim ku terangkat.

Beberapa hari kemudian dokter mengijinkan aku pulang. Suka cita tampak di wajah abi dan putra putri ku. Begitu pun di wajah mang salim dan mbak nanik yang menunggu ku di depan rumah sakit. Aku naik mobil dengan disupiri bang salim. Mbak nanik di depan dengan bang salim dan aku duduk di belakang bersama malik. Abi dan anisa menggunakan mobila lain. Di sepanjang perjalanan malik tak hentinya bercerita saat di sekolah selama aku ada di rumah sakit. Aku dengan antusias mendengar setiap kata yang ia keluarkan. Tanpa sadar air mata ku mengalir, ternyata aku sudah lebih sebulan dirumah sakit. Ku peluk erat malik saat itu.

Dan tibalah kami di rumah. Subhanallah.... Semua teman teman pengajian ku menyambut ku di halaman depan. Tampak gerombolan anak anak ku berbaju putih yang ku jahitkan sendiri untuk mereka. Subhanallah... Maha besar Engkau ya Allah. Luar biasa nikmat Mu ini. Gema sholawat mengiringi ku saat ku turun dari mobil. Allah Huakbar.... Maha Besar Allah.... Acara penyambutanku di lanjutkan dengan pengajian dan makan makan bersama. Ternyata ini ide abi. Luar biasa rahman dan rahimMu Ya Allah... Begitu jelas terasa.......

Baru kusadari bahwa sakit itu adalah nikmat yang luar biasa. Ku tak mau lagi berburuk sangka Pada Allah. Ternyata semua ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan di masa depan. Ku percaya saat sakit, Allah mengirimkan empat malaikat untuk ku. Malaikat pertama mencabut nikmat kecantikan ku. Walau abi tetap bilang kalau aku cantik saat aku tanya padanya. Malaikat ke dua mencabut nikmat rejeki ku, ya itu benar ku rasakan. Malaikat ke tiga mencabut nikmat nafsu makan ku. Dan malaikat yang ke empat mencabut dosa dosa ku. Dan setelah aku sembuh, Allah memerintahkan malaikat pertama sampai ketiga mengembalikan nikmat yang ia cabut. Namun tidak dengan malikat yang ke empat. Begitulah cara Allah menguji kesabaran kita dan mengurangi dosa kita. Dan semua kembali pada diri kita sendiri... Maha besar Allah pemilik hati dan jiwa ini...

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjuang nya, semoga bermanfaat dan membawa kita menuju ridho Allah :)Salam Super... :)
 
Copyright 2009 Kumpulan Puisi dan Cerpen Terbaru All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates